Selasa, 11 Januari 2011

KUJANG

“…Ganjaran nu belapati, satria santosa iman, Raden teu burung dileler, jimat kujang nu utama, pikeun neruskeun lampah, pangjurung ngapung ka manggung, pamuka lawang ka Sunan. Cangkingan lalaki langit, wangkingan lalanang jagat, wewesen leber wawanen, saratna sapira kujang nanging jadi lantaran, Sunan Ambu mikayungyun, para jawara ngaraksa. Kujang the dipake ciri, pusaka Tanah Pasundan, ciciren gede wewesen, pantang lumpat ngandar jangjang, ngeok eleh ku bikang, saur galur nu cacatur, kujang dua pangadekna…”
Kujang adalah sebuah senjata yang unik dari segi bentuk dan kesejarahannya. Hampir setiap orang mengenal nama Kujang, namun belum tentu bisa menjawab secara mendalam, baik itu dari sisi bentuk maupun refleksi keberadaannnya dalam kehidupan para penggunanya di masa lalu. Dari berbagai sumber, al. Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and Other Weapon of Indonesia, penulis mencoba mengungkap fungsi, bentuk serta stratifikasi pemakaiannya dalam masyarakat dimasa lalu.
Tulisan yang dibuat oleh Sdr. Iip Zulkifli Yahya dan telah diterbitkan di Majalah Panggung Edisi Desember 2000 ini sengaja ditampilkan secara berurutan beberapa episode di SundaNet.Com yang intinya diharapkan bisa mengungkap berbagai hal tentang kujang, yang tidak hanya semata-mata, dimasa kini, muncul sebagai cinderamata, namun juga mengungkap nilai filosofi dalam bertindak, seiring dengan kandungan dua pangadegna, yang merefleksikan adanya dua sisi ketajaman kritis dalam kehidupan, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan kolektifnya (Redaksi).
Kujang, secara umum telah diakui sebagai milik asli urang Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata. Lebih dari itu kujang adalah lambang Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dalam kujang? Mengapa ia dikesani sakral dan memiliki daya magis? Mengapa ia yang dipilih sebagai lambang Jabar dan bukan benda yang lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebab informasi mengenai kujang sangatlah sedikit, untuk tidak menyebutnya belum ada.
Dalam literatur mengenai Jawa Barat, bahkan dalam buku-buku yang diprakarsai penerbitannya oleh Pemda Jabar, kujang banyak dikupas. Istilah kujang yang sedemikian populer itu, agaknya belum cukup layak untuk masuk sebagai salah satu entry dalam ensiklopedi nasional Indonesia. Kenyataan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sekalipun sangat terlambat, penelitian tentang kujang tetap perlu dilakukan. Karena kujang tidak saja “terlanjur” dijadikan lambang Pemda Jabar dan diakui senjata khas urang Sunda, tetapi melalui kujang inilah salah satu alur penelusuran kebesaran kerajaan Pajajaran diharapkan bisa kita tapaki. Melalui tulisan ini, penulis coba ketengahkan beberapa data dan analisa mengenai kujang. Penelitian ini memang baru sebuah awal dari upaya mapay raratan kujang yang diharapkan bisa melengkapi hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelusuran lebih lanjut.
Meneliti benda yang sangat dikenal namun minim literatur, sungguh sangat menantang. Hampir semua urang Sunda mengenal kujang. Namun ironisnya, tidak banyak dari mereka yang bisa menerangkan hal ihwal senjata khas itu. Dengan tetelepek, mencakup wilayah Bandung, Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut, sedikit informasi mengenai kujang bisa diperoleh.

Dari enam daerah tersebut diperoleh data lisan dan data tertulis. Dari data lisan yang diperoleh melalui wawancara, secara umum informasi mengenai kujang masih berupa dugaan-dugaan. Hal ini masih menguatkan kritik atas urang Sunda yang malas mencatatkan segala sesuatu mengenai sejarah karuhun dan daerahnya sendiri. Sehingga banyak informasi penting tentang Sunda yang tercecer, dan saat dibutuhkan justru harus membuka literature berbahasa asing.
Sementara data tertulis terpenting diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi, ia telah menyusun sebuah makalah (1996) berjudul “Kujang Menurut Berita Pantun Bogor” yang disiapkannya untuk sebuah gatrasawala mengenai kujang yang saat ini batal dilaksanakan. Sedikit keterangan yang menarik diperoleh pula dari buku Wacana Nonoman terah Pasundan karangan Kadar Rohmat dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku “Keris and Orther Weapons of Indonesia” karangan Mubirman, “Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat)”, dan “Pengabdian DPRD DT. I Jabar”, yang ketiganya ditemukan diperpustakaan Pemda Jabar. Sementara “brosur” dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat menjadi pelengkap, sebab perajin tosan aji ini adalah salah seorang yang secara sadar berniat melestarikan kujang sebagai cinderamata yang berkelas. Dari tulisan Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah menggunakan teknologi muktahir.

SEPUTAR TATAR BANDUNG

Kabupaten Bandung merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Propinsi Jawa Barat.  Wilayah Kabupaten Bandung adalah wilayah yang secara penuh memagari Wilayah Kota Bandung, dengan luas wilayah 309.207,03 Ha.(Lihat Sejarah Singkat), dengan batas- batas wilayah administratif, Sebelah Utara : Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang,   Sebelah Timur : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut,  Sebelah Selatan : Kabupaten Garut dan Cianjur dan sebelah Barat : Kabupaten Cianjur.
Wilayah Kabupaten Bandung pada umumnya terdiri dari dataran tinggi perbukitan bergunung-gunung, dengan ketinggian antara 110 M sampai dengan 2300 M di atas permukaan laut.  Terletak antara 107 22' BT - 108 05' BT dan 6 41' LS - 7 19' LS., berhawa sejuk dan segar.   Salah satu ke-khas-an Kabupaten Bandung adalah kesuburan alam, ketentraman rakyat yang hidup di lingkung gunung dan keramahan masyarakatnya.   Di lereng-lereng gunung, terhampar perkebunan-perkebunan yang memberi sumber penghidupan bagi penduduknya.
Diantara gunung-gunung yang ada, Gunung Tangkuban Perahu lebih banyak dikenal orang dengan legendanya yang terkenal, yaitu Legenda Sangkuriang.   Demikianpun Sungai Citarumnya yang bersumber di Kabupaten Bandung, mengalir berliku-liku sampai jauh ke Utara Pulau Jawa.  Banyak danau-danau (situ-situ) terhampar di Wilayah Kabupaten Bandung, seperti Situ Lembang, Situ Cileunca, Situ Ciburuy, Situ Patenggang dan lain sebagainya.  Diantara situ atau danau, Situ Cileunca memiliki arti penting, bukan saja karena menyuburkan tanah (irigasi) tetapi memberikan pula kemanfaatan bagi penduduk lainnya di luar Kabupaten Bandung, yaitu berupa tenaga yang membangkitkan aliran listrik di sentral-sentral seperti Pangalengan dan Lamajang. Selain dari Cileunca, Danau Saguling adalah sumber pembangkit tenaga listrik terbesar di Kabupaten Bandung..
Saguling
Di Kabupaten Bandung terdapat pula sumber energi panas bumi yang terletak di puncak gunung Kamojang (Bandung Selatan) dan telah dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik tenaga panas bumi (PLTP Kamojang). Disamping itu Kabupaten Bandung kaya akan bahan tambang golongan C, antara lain : Batu gamping, Batu andesit, Teras, Marmer, Kaolin, pasir Kuarsa, dan sirtu yang lokasinya tersebar di Kecamatan Padalarang, Cipatat, Margaasih, Batujajar, Cicalengka, Baleendah dan Majalaya.

BERIKUT BEBERAPA KESENIAN YANG ADA DI TATAR SUNDA



pertunjukan wayang golek
Wayang Golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita pewayangan. Dimainkan oleh seorang Dalang, yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang dimainkan.  Wayang golek sangat digemari oleh masyarakat Sunda khususnya. Lazimnya wayang golek dipergelarkan pada malam hari sampai dini hari.
jaipong

Tari Jaipong adalah pengembangan dan berakar dari Tarian Klasik "Ketuk Tilu". Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong telah berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.
angklung

Angklung  adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu, yang unik, enak didengar, menarik dan mudah untuk  memainkannya. Selain dapat dimainkan untuk lagu instrumentalia, angklung juga dapat dipergunakan sebagai instrumen pengiring penyanyi.
ketuk tilu

Tari Ketuk Tilu. telah ada kira-kira di era 1809, dimana ketika dibuatnya Grote Pas Weg, tarian ketuk tilu telah dikenal oleh masyarakat luas di Jawa Barat.   Sebagai tarian rakyat tradisonal, tari ketuk tilu memiliki tata rias dan busana khas.
Sesuai namanya Tarian Ketuk Tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisonal yang disebut "ketuk" sejumlah 3 (tiga) buah.   Sebagaimana musik pengiring tarian lainnya, instrumen ketuk tilu dimainkan secara gabungan dari berbagai alat musik atau instrumen musik tradisonal yang menciptakan harmoni lagu khas pengiring tarian maupun nyanyiannya.
rampak kendang
Rampak Kendang Kendang adalah salah satu instrumen musik tradional yang dimainkan bersama-sama instrumen lainnya, sehingga dapat menciptakan musik yang harmonis.

Perkembangan selanjutnya, kendang tidak saja dimainkan dengan berbagai instrumen lainnya, tapi dimainkan secara tunggal dalam arti satu jenis instrumen musik, namun dimainkan dalam jumlah banyak dan menciptakan suatu irama tersendiri.

FORUM KI SUNDA SEBAGAI SOLUSI BUDAYA

Forum Ki Sunda lahir dari kesadaran untuk menyelamatkan asset budaya santun yang mulai hilang di kalangan masyarakat Sunda. Selain itu juga untuk memperkuat kembali tali persaudaraan berdasarkan nilai-nilai budaya menuju Bangsa Indonesia yang kuat.
Deklarasi Forum Ki Sunda memproklamirkan diri sebagai Wahana Gerakan Budaya. Forum Ki Sunda ini dideklarasikan pada hari Jumat malam 26 Januari 2001 di Balai Pertemuan Bumi Sangkuriang Bandung.
Seperti yang terjadi di daerah lain, genderang kultural yang ditabuh forum komunitas masyarakat setempat masih banyak yang membawa nafas gugatan. Dalam hal ini khususnya menyangkut gugatan terhadap Orde Baru yang telah melunturkan identitas budaya lewat uniformnya. Pola yang menyalahi sunatullah pluralitas dan keberagaman, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an (Al-Hujarat:13).
Masyarakat dari berbagai Suku Bangsa di Indonesia termasuk didalamnya Etnis Sunda saat ini tengah merasakan tercabut akar budayanya. Masyarakat Sunda dengan Jatidiri Sunda Sawawa pelan-pelan diserbu budaya baru yang cenderung egosentris, materialistis dan ambisius. Dengan demikian telah ikut menodai sifat bersahabat, ramah dan terbuka dalam pergaulan Masyarakat Sunda yang terkenal someah hade ka semah atau dalam arti ramah dan baik terhadap tamu.
Melalui Forum Ki Sunda ini, menurut salah seorang pendirinya Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj adalah untuk memperkokoh kembali tali persaudaraan berdasarkan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat Sunda menuju Bangsa Indonesia yang kuat dan mandiri.
Lebih lanjut Agil katakan, prahara dan ancaman disintegrasi bangsa yang berakar pada disintegrasi budaya maupun moral perlu penyelesaian yang tepat. Kita bisa menarik pelajaran dari apa yang telah dialami Pakistan, Turki dan Sudan. Menurutnya, penyelesaian berdasarkan pendekatan budaya bisa menjadi cermin untuk mengatasi ekses negatif reformasi. Sedangkan cara politik yang sering melahirkan perpecahan dan pertikaian, dianggap telah gagal mengambil peran itu.
Bangsa Indonesia tidak akan kuat oleh reformasi politik. Dengan demikian diperlukan adanya reformasi budaya, moral dan ahlak. Dalam hal ini masyarakat dihimbau agar tidak terlalu berharap banyak terhadap keberadaan partai-partai politik. Nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai budaya yang unik. Karenanya nilai-nilai itu perlu direvitalisasi dan diangkat sebagai solusi.
Sementara itu Dewan Pangaping Forum Ki Sunda Eddie Soekardi juga menilai kearifan budaya leluhur masih sangat relevan. Misalnya kata-kata arif dari Raja Sunda Padjadjaran Prabu Siliwangi, “Pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana, pakeun nanjeur di buritan.” Adapun artinya, “tegakkan kebajikan agar lama berjaya dibumi, agar menang perang”.
Konsolidasi budaya bukanlah suatu proses instan. Hasil penyelesaian budaya memang lambat, tetapi bisa menjadi fondasi yang kuat. Fundamen itulah yang pada gilirannya diharapkan bisa melahirkan nasionalisme kultural dan religius, yang melampaui nasionalisme teritorial.
Prahara dan ancaman disintegrasi yang berakar pada disintegrasi budaya dan moral perlu penyelesaian yang tepat. Pakistan, Turki dan Sudan menurutnya, bisa menjadi cermin bahwa penyelesaian budaya bisa mengatasi ekses negatif reformasi. Sedangkan cara politik yang sering melahirkan perpecahan dan pertikaian, dianggap telah gagal mengambil peran itu.
Berdirinya Forum Ki Sunda ini menambah daftar organisasi berbasis kultural di Tatar Sunda dalam hal ini Jawa Barat. Hal ini merupakan pertanda semakin banyaknya yang peduli terhadap pentingnya symbol dan nilai kasundaan dalam upaya penemuan kembali jatidiri. Pencarian titik koordinat yang kelak menjadi starting point dalam berbuat.
Tetapi dibalik semua cita-cita rekonstruksi identitas dan karakter Forum Ki Sunda tersebut, sempat mengundang tanya masyarakat terhadap keberadaannya. Karena sederet nama elit organisasi kemasyarakatan tertentu namanya tercantum dalam struktur kepengurusan Forum Ki Sunda. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa Forum Ki Sunda ini merupakan kepanjangan tangan bagi kepentingan partai politik tertentu. Namun tudingan politisasi dan eksploitasi terhadap Budaya Sunda ini dibantah oleh Agil.
“Forum ini steril dari kepentingan politik ataupun primordialisme,” demikian menurut salah seorang pendiri Forum Ki Sunda Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj.
* Sumber: Republika, Senin 29 Januari 2001.